Regulasi
menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah pengaturan. Regulasi di
Indonesia diartikan sebagai sumber hukum formil berupa peraturan
perundang-undangan yang memiliki beberapa unsur, yaitu merupakan suatu
keputusan yang tertulis, dibentuk oleh lembaga negara atau pejabat yang
berwenang, dan mengikat umum.
REGULASI DALAM PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN INDONESIA BESERTA ASAS-ASAS PEMBENTUKANNYA
Regulasi
menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah pengaturan. Regulasi di
Indonesia diartikan sebagai sumber hukum formil berupa peraturan
perundang-undangan yang memiliki beberapa unsur, yaitu merupakan suatu
keputusan yang tertulis, dibentuk oleh lembaga negara atau pejabat yang
berwenang, dan mengikat umum.[1] Ruang
lingkup peraturan perundang-undangan telah ditentukan dalam
Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan
Perundang-undangan. Dalam Pasal 7 Ayat (1) disebutkan mengenai jenis dan
hierarki peraturan perundang-undangan, yaitu Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945; Undang-Undang/Peraturan Pemerintah
Pengganti Undang-Undang; Peraturan Pemerintah; Peraturan Presiden; serta
Peraturan Daerah.
Undang-undang
Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan
menyatakan tentang jenis dan hierarki peraturan perundang-undangan dalam
Pasal 7, yang dirumuskan sebagai berikut:
Pasal 7
(1) Jenis dan hierarki Peraturan Perundang-undangan adalah sebagai berikut:
a. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
b. Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang;
c. Peraturan Pemerintah;
d. Peraturan Presiden;
e. Peraturan Daerah.
(2) Peraturan Daerah sebagaimana dimaksud pada Ayat (1) huruf e meliputi:
a. Peraturan Daerah Provinsi dibuat oleh dewan perwakilan rakyat daerah provinsi bersama gubernur;
b. Peraturan Daerah kabupaten/kota dibuat oleh dewan perwakilan rakyat daerah kabupaten/kota bersama bupati/walikota;
c. Peraturan
Desa/peraturan yang setingkat, dibuat oleh badan perwakilan desa atau
nama lainnya bersama dengan kepala desa atau nama lainnya.
(3) Ketentuan
lebih lanjut mengenai tata cara pembuatan peraturan desa/peraturan yang
setingkat diatur dengan peraturan daerah kabupaten/kota yang
bersangkutan.
(4) Jenis
Peraturan Perundang-undangan selain sebagaimana dimaksud pada Ayat (1),
diakui keberadaannya dan mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang
diperintahkan oleh Peraturan Perundang-undangan yang lebih tinggi.
(5) Kekuatan hukum Peraturan Perundang-undangan adalah sesuai dengan hierarki sebagaimana dimaksud pada Ayat (1).
Dalam penjelasan Pasal 7 dinyatakan bahwa Ayat (1), Ayat (2) huruf b dan huruf c, serta Ayat (3) dan Ayat (5) adalah “cukup jelas”, sedangkan ayat-ayat yang diberi penjelasan antara lain:
Ayat
(2) Huruf a: Termasuk dalam jenis Peraturan Daerah Provinsi adalah
Qanun yang berlaku di Daerah Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam dan
Perdasus serta Perdasi yang berlaku di provinsi Papua.
Ayat
(4) Jenis Peraturan Perundang-undangan selain dalam ketentuan ini,
antara lain, peraturan yang dikeluarkan oleh Majelis Permusyawaratan
Rakyat dan Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Mahkamah
Agung, Mahkamah Konstitusi, Badan Pemeriksa Keuangan, Bank Indonesia,
Menteri, kepala badan, lembaga, atau komisi yang setingkat yang dibentuk
oleh undang-undang atau pemerintah atas perintah undang-undang, Dewan
Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi, Gubernur, Dewan Perwakilan Rakyat
Daerah Kabupaten/Kota, Bupati, Walikota, Kepala Desa atau yang
setingkat.
Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 merupakan hukum dasar
tertulis yang berkedudukan sebagai hukum dasar bagi setiap pembentukan
Peraturan Perundang-undangan yang ada di bawahnya yaitu
Undang-Undang yang kedudukannya secara hierarki sejajar dengan
Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang. Undang-Undang adalah
Peraturan Perundang-undangan yang dibentuk oleh Dewan Perwakilan Rakyat
dengan persetujuan bersama Presiden.[2]
Sedangkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang adalah Peraturan
Perundang-undangan yang ditetapkan oleh Presiden dalam hal ikhwal
kegentingan yang memaksa.[3]
Peraturan
Perundang-undangan di bawah Undang-Undang adalah Peraturan Pemerintah.
Peraturan Pemerintah adalah Peraturan Perundang-undangan yang ditetapkan
oleh Presiden untuk menjalankan Undang-Undang sebagaimana mestinya.[4]
Keberadaan Pemerintah hanya untuk menjalankan Undang-Undang. Secara
yuridis konstitusional tidak satupun Peraturan Pemerintah yang
dikeluarkan dan/atau ditetapkan oleh Presiden di luar perintah dari
suatu Undang-Undang.[5]
Pasal 1 Angka 8 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan menyatakan bahwa Peraturan Presiden adalah Peraturan Perundang-undangan yang dibuat oleh Presiden.
Ketentuan tersebut mirip dengan Peraturan Pemerintah. Namun keduanya
berbeda pada proses pembentukannya. Peraturan Pemerintah tidak dibuat
dan disusun atas inisiatif dan prakarsa Presiden sendiri melainkan untuk
melaksanakan perintah Undang-Undang.
Peraturan
Presiden yang dibuat oleh Presiden mengandung dua makna. Pertama,
Peraturan Presiden dibuat oleh Presiden atas inisiatif dan prakarsa
sendiri untuk melaksanakan
Undang-Undang sehingga kedudukannya sederajat dengan Peraturan
Pemerintah. Kedua, maksud pembuatan Peraturan Presiden ditujukan untuk
mengatur materi muatan yang diperintahkan oleh Peraturan Pemerintah
sehingga kedudukannya menjadi jelas berada di bawah Peraturan
Pemerintah.[6]
Undang-Undang/Peraturan
Pemerintah Pengganti Undang-Undang, Peraturan Pemerintah, dan Peraturan
Presiden berlaku secara nasional di seluruh wilayah Indonesia.
Sedangkan Peraturan Daerah pemberlakuannya terbatas pada daerah tertentu
yang mengeluarkannya sebagai bagian dari kewenangan daerah untuk
mengatur dan mengurus sendiri daerahnya dalam sistem Negara kesatuan
Republik Indonesia.[7]
Jenis
Peraturan Perundang-undangan selain sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7
Ayat (1) Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan
Perundang-undangan adalah peraturan yang telah ada sebelumnya seperti
Ketetapan MPR dan Keputusan Presiden yang dikategorikan dalam peraturan
yang bersifat beschikking. Peraturan dan atau Keputusan Menteri
atau Kepala Lembaga Pemerintahan lainnya tetap memiliki kekuatan hukum
mengikat sepanjang melaksanakan Peraturan Perundang-undangan yang lebih
tinggi atau dalam konteks pelaksanaan kewenangan sebagai Pejabat Negara.
Asas-asas Pembentukan Peraturan Perundang-undangan yang Baik
I.C. van der Vlies dalam bukunya yang berjudul “Het wetsbegrip en beginselen van behoorlijke regelgeving”, membagi asas-asas dalam pembentukan peraturan negara yang baik (beginselen van behoorlijke regelgeving) ke dalam asas-asas yang formal dan yang material.
Asas-asas yang formal meliputi:
a. asas tujuan yang jelas (beginsel van duidelijke doelstelling);
b. asas organ/lembaga yang tepat (beginsel van het juiste orgaan);
c. asas perlunya pengaturan (het noodzakelijkheids beginsel);
d. asas dapatnya dilaksanakan (het beginsel van uitvoerbaarheid);
e. asas konsensus (het beginsel van consensus).
Asas-asas yang material meliputi:
a. asas tentang terminologi dan sistematika yang benar;
b. asas tentang dapat dikenali;
c. asas perlakuan yang sama dalam hukum;
d. asas kepastian hukum;
Hamid S. Attamimi berpendapat, bahwa pembentukan peraturan perundang-undangan Indonesia yang patut, adalah sebagai berikut:
a. Cita Hukum Indonesia, yang tidak lain adalah Pancasila yang berlaku sebagai “bintang pemandu”;
b. Asas
Negara Berdasar Atas Hukum yang menempatkan Undang-undang sebagai alat
pengaturan yang khas berada dalam keutamaan hukum, dan Asas Pemerintahan
Berdasar Sistem Konstitusi yang menempatkan Undang-undang sebagai dasar
dan batas penyelenggaraan kegiatan-kegiatan Pemerintahan.
c. Asas-asas
lainnya, yaitu asas-asas negara berdasar atas hukum yang menempatkan
undang-undang sebagai alat pengaturan yang khas berada dalam keutamaan
hukum dan asas-asas pemerintahan berdasar sistem konstitusi yang
menempatkan undang-undang sebagai dasar dan batas penyelenggaraan
kegiatan-kegiatan pemerintahan.
Asas-asas pembentukan peraturan perundang-undangan yang patut itu meliputi juga:
a. asas tujuan yang jelas;
b. asas perlunya pengaturan;
c. asas organ/lembaga dan materi muatan yang tepat;
d. asas dapatnya dilaksanakan;
e. asas dapatnya dikenali;
f. asas perlakuan yang sama dalam hukum;
g. asas kepastian hukum;
Apabila
mengikuti pembagian mengenai adanya asas yang formal dan asas yang
material, maka A. Hamid S. Attamimi cenderung untuk membagi asas-asas
pembentukan peraturan perundang-undangan yang patut tersebut ke dalam:
a. Asas-asas formal, dengan perincian:
(1) asas tujuan yang jelas;
(2) asas perlunya pengaturan;
(3) asas organ/ lembaga yang tepat;
(4) asas materi muatan yang tepat;
(5) asas dapatnya dilaksanakan; dan
(6) asas dapatnya dikenali;
b. Asas-asas material, dengan perincian:
(1) asas sesuai dengan Cita Hukum Indonesia dan Norma Fundamental Negara;
(2) asas sesuai dengan Hukum Dasar Negara;
(3) asas sesuai dengan prinsip-prinsip Negara berdasar atas Hukum; dan
(4) asas sesuai dengan prinsip-prinsip Pemerintahan berdasar Sistem Konstitusi.[10]
Asas
pembentukan Peraturan Perundang-undangan yang baik dirumuskan juga
dalam Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan
Perundang-undangan khususnya Pasal 5 dan Pasal 6 yang dirumuskan sebagai
berikut:
Pasal 5
Dalam
membentuk Peraturan Perundang-undangan harus berdasarkan pada asas
pembentukan Peraturan Perundang-undangan yang baik yang meliputi:
a. kejelasan tujuan;
b. kelembagaan atau organ pembentuk yang tepat;
c. kesesuaian antara jenis dan materi muatan;
d. dapat dilaksanakan;
e. kedayagunaan dan kehasilgunaan;
f. kejelasan rumusan; dan
g. keterbukaan
Asas-asas yang dimaksudkan dalam Pasal 5 diberikan penjelasannya dalam Penjelasan Pasal 5 sebagai berikut:
Pasal 5
Huruf a
Yang
dimaksud dengan “kejelasan tujuan” adalah bahwa setiap Pembentukan
Peraturan Perundang-undangan harus mempunyai tujuan yang jelas yang
hendak dicapai.
Huruf b
Yang
dimaksud dengan asas “kelembagaan atau organ pembentuk yang tepat”
adalah bahwa setiap jenis Peraturan Perundang-undangan harus dibuat oleh
lembaga/pejabat Pembentuk Peraturan Perundang-undangan yang berwenang.
Peraturan Perundang-undangan tersebut dapat dibatalkan atau batal demi
hukum, apabila dibuat oleh lembaga/pejabat yang tidak berwenang.
Huruf c
Yang
dimaksud dengan asas “kesesuaian antara jenis dan materi muatan” adalah
bahwa dalam Pembentukan Peraturan Perundang-undangan harus benar-benar
memperhatikan materi muatan yang tepat dengan jenis Peraturan
Perundang-undangannya.
Huruf d
Yang
dimaksud dengan asas “dapat dilaksanakan” adalah bahwa setiap
Pembentukan Peraturan Perundang-undangan harus memperhitungkan
efectivitas Peraturan Perundang-undangan tersebut di dalam masyarakat,
baik secara filosofis, yuridis maupun sosiologis.
Huruf e
Yang
dimaksud dengan asas “kedayagunaan dan kehasilgunaan” adalah bahwa
setiap Peraturan Perundang-undangan dibuat karena memang benar-benar
dibutuhkan dan bermanfaat dalam mengatur kehidupan bermasyarakat,
berbangsa, dan bernegara.
Huruf f
Yang
dimaksud dengan asas “kejelasan rumusan” adalah bahwa setiap Peraturan
Perundang-undangan harus memenuhi persyaratan teknis penyusunan
Peraturan Perundang-undangan sistematika dan pilihan kata atau
terminologi, serta bahasa hukumnya jelas dan mudah dimengerti, sehingga
tidak menimbulkan berbagai macam interpretasi dalam pelaksanaannya.
Huruf g
Yang
dimaksud dengan asas “keterbukaan” adalah bahwa dalam proses
Pembentukan Peraturan Perundang-undangan mulai dari pencanaan,
persiapan, penyusunan, dan pembahasan bersifat transparan dan terbuka.
Dengan demikian, seluruh lapisan masyarakat mempunyai desempatan yang
seluas-luasnya untuk memberikan masukan dalam proses pembuatan Peraturan
Perundang-undangan.
Sementara
itu, asas-asas yang harus dikandung dalam materi muatan Peraturan
Perundang-undangan dirumuskan dalam Pasal 6 sebagai berikut:
Pasal 6
(1) Materi muatan Peraturan Perundang-undangan mengandung asas:
a. pengayoman;
b. kemanusiaan;
c. kebangsaan;
d. kekeluargaan;
e. kenusantaraan;
f. bhinneka tunggal ika;
g. keadilan;
h. kesamaan kedudukan dalam hukum dan pemerintahan;
i. ketertiban dan kepastian hukum; dan/atau
j. keseimbangan; keserasian, dan keselarasan.
(2) Selain
asas sebagaimana dimaksud pada Ayat (1), Peraturan Perundang-undangan
tertentu dapat berisi asas lain sesuai dengan bidang hukum Peraturan
Perundang-undangan yang bersangkutan.
Asas-asas yang dimaksudkan dalam Pasal 6 diberikan penjelasannya dalam Penjelasan Pasal 6 sebagai berikut:
Pasal 6 Ayat (1)
Huruf a
Yang
dimaksud dengan “asas pengayoman” adalah bahwa setiap Materi Muatan
Peraturan Perundang-undangan harus berfungsi memberikan perlindungan
dalam rangka menciptakan ketenteraman masyarakat.
Huruf b
Yang
dimaksud dengan “asas kemanusiaan” adalah bahwa setiap Materi Muatan
Peraturan Perundang-undangan harus mencerminkan perlindungan dan
penghormatan hak-hak asasi manusia serta harkat dan martabat setiap
warga negara dan penduduk Indonesia secara proporsional.
Huruf c
Yang
dimaksud dengan “asas kebangsaan” adalah bahwa setiap Materi Muatan
Peraturan Perundang-undangan harus mencerminkan sifat dan watak bangsa
Indonesia yang pluralistik (kebhinnekaan) dengan tetap menjaga prinsip
Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Huruf d
Yang
dimaksud dengan “asas kekeluargaan” adalah bahwa setiap Materi Muatan
Peraturan Perundang-undangan harus mencerminkan musyawarah untuk
mencapai mufakat dalam setiap pengambilan keputusan.
Huruf e
Yang
dimaksud dengan “asas kenusantaraan” adalah bahwa setiap Materi Muatan
Peraturan Perundang-undangan senantiasa memperhatikan kepentingan
seluruh wilayah Indonesia dan Materi Muatan Peraturan Perundang-undangan
yang dibuat di daerah merupakan bagian dari sistem hukum nasional yang
berdasarkan Pancasila.
Huruf f
Yang
dimaksud dengan “asas bhinneka tunggal ika” adalah bahwa Materi Muatan
Peraturan Perundang-undangan harus memperhatikan keragaman penduduk,
agama, suku, dan golongan, kondisi khusus daerah, dan budaza khususnya
yang menyangkut masalah-masalah sensitif dalam kehidupan bermasyarakat,
berbangsa, dan bernegara.
Huruf g
Yang dimaksud dengan “asas keadilan” adalah bahwa setiap
Materi Muatan Peraturan Perundang-undangan harus mencerminkan keadilan
secara proporcional bagi setiap warga negara tanpa kecuali.
Huruf h
Yang
dimaksud dengan ”asas kesamaan kedudukan dalam hukum dan pemerintahan”
adalah bahwa setiap Materi Muatan Peraturan Perundang-undangan tidak
boleh berisi hal-hal yang bersifat membedakan berdasarkan latar
belakang, antara lain, agama, suku, ras, golongan, gender, atau status
sosial.
Huruf i
Yang
dimaksud dengan ”asas ketertiban dan kepastian hukum” adalah bahwa
setiap Materi Muatan Peraturan Perundang-undangan harus dapat
menimbulkan ketertiban dalam masyarakat melalui jaminan adanya kepastian
hukum.
Huruf j
Yang
dimaksud dengan ”asas keseimbangan, keserasian, dan keselarasan” adalah
bahwa setiap Materi Muatan Peraturan Perundang-undangan harus
mencerminkan keseimbangan, keserasian, dan keselarasan, antara
kepentingan individu dan masyarakat dengan kepentingan bangsa dan
negara.
Pasal 6 Ayat (2)
Yang dimaksud dengan “asas lain sesuai dengan bidang hukum Peraturan Perundang-undangan yang bersangkutan”, antara lain:
a. dalam
Hukum Pidana, misalnya, asas legalitas, asas tiada hukuman tanpa
kesalahan, asas pembinaan narapidana, dan asas praduga tak bersalah;
b. dalam Hukum Perdata, misalnya, dalam hukum perjanjian, antara lain, asas kesepakatan, kebebasan berkontrak, dan itikad baik.
Ikap/14110
[1] Maria Farida Indrati S. 2007. Ilmu Perundang-undangan: Jenis, Fungsi, dan Materi Muatan. Yogyakarta: Kanisius. hlm. 12.
[2] Undang-undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan Pasal 1 Angka 3.
[3] Ibid Pasal 1 Angka 4.
[4] Ibid Pasal 1 Angka 5.
[5] B. Hestu Cipto Handoyo. 2008. Prinsip-Prinsip Legal Drafting dan Desain Naskah Akademik. Yogyakarta: Penerbit Universitas Atma Jaya Yogyakarta. hlm. 110.
[6] Ibid. hlm. 114.
[7] Ibid. hlm. 118.
[8] I.C. van der Vlies, Het wetsbegrip en beginselen van behoorlijke regelgeving, ’s-Gravenhage: Vuga 1984 hal 186 seperti dikutip oleh A. Hamid S. Attamimi, Peranan Keputusan Presiden Republik Indonesia dalam Penyelenggaraan Pemerintahan Negara, hal. 330, dalam Maria Farida Indrati, S., Ilmu Perundang-undangan, Jenis, Fungsi, dan Materi Muatan, Jakarta: Kanisius, hlm. 253-254.
[9] A. Hamid Attamimi, Ibid., hal. 344-345 dalam Maria Farida Indrati S., Ibid. hlm. 254-256.
[10] A. Hamid Attamimi, Ibid., hal. 344-345 dalam Maria Farida Indrati S., Ibid. hlm. 256.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar